SEBUAH adigium yang terkenal dari Lord Acton (Guru Besar di Universitas Cambridge) yaitu: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolute” (kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut). Kita sudah bisa terlepas dari sebuah rezim pemerintahan yang otoriter masuk ke system demokrasi, yang dimana kita berhasil keluar dan mencegah praktik korupsi dari kekuasaan yang absolut. Setelah keluar dari satu persoalan, kita harus bisa menangani satu ancaman lagi, bahwa kekuasaan itu cendrung korup, dan demokrasi membuka ruang bagi kita untuk mencegah itu terjadi. Kebebasan berpendapat, dibukanya ruang partisipasi public, dan pemilu secara langsung, itu merupakan beberapa hal untuk mencegah kekuasaan yang korup dan mewujudkan pemerintahan dapat berjalan dengan baik sehingga mencapai kesejahteraan, keadilan, pemerataan dan banyak hal lain yang bermanfaat bagi masyarakat dan negara.
Apakah negara kita sudah mencapai tujuannya?, tentu belum 100 persen. Tapi apakah bisa melakukan percepatan untuk mencapai tujuan negara dan kesejahteraan masyarakat, tentunya bisa. Demokrasi membuka ruang yang besar bagi partisipasi masyarakat untuk ikut terlibat dalam semua aspek penyelenggaraan negara, yang membantu percepatan mencapai tujuan negara dan kesejahteraan rakyat. Secara umum kunci untuk melakukan lompatan adalah pemimpin yang berkualitas dan berintegritas, serta masyarakat yang peduli terhadap negaranya.
Salah satu persoalan klasik yang sering kita jumpai dinegara ini, yaitu; Tidak sedikit keluhan masyarakat kepada wakilnya di DPR atau DPRD, kepada pemimpinnya (Bupati/Walikota, Gubernur, Presiden) setelah pemilu usai dan merasakan dampaknya pada saat jalannya pemerintahan. Tetapi cukup sulit juga jika terus menyalahkan case tersebut jika kita coba melilhat secara komperhensip, karena faktanya masih banyak transaksi money politic ketika pemilu, dan bahkan ada masyarakat secara sadar dan terbuka menjual suaranya dengan sejumlah rupiah dan sembako. Ada juga masyarakat yang memilih untuk tidak memilih (golput) dan pasca itu mengeluh terhadap kondisi negara atas wakilnya dan pemimpinnya.
Secara prinsip demokrasi pasca reformasi menyuguhkan pemilu yang demokratis, semua warga negara diberikan haknya untuk memilih pemimpin dan wakilnya secara langsung. Begitu berharganya suara kita sampai tidak sedikit kandidat yang mengejar, memohon, dan bahkan menawarkan harga atas suara kita, tapi akankah kita memberikan suara atas dasar harga, menjual suara kita berdasarkan rupiah atau sembako?. Saya pikir tidak, menjual nasib kita, dan arah negara ini lima tahun kedepan. Pemilu merupakan pintu gerbang awal jalannya suatu pemerintahan, mengurus hajat hidup orang banyak, penentu nasib warga negara, dan bangsa kedepan.
Hasil survey Charta Politika 19-25 Maret 2019, menunjukan sebanyak 45,6% responden memaklumi politik uang.[1] terlihat jelas besarnya presentasi pemakluman politik uang dalam pemilu di tahun 2019. Semoga angka ini terus menurun tiap tahunnya, apalagi kita akan menghadapi pemilu di 2024 mendatang, yang tahapannya sudah berjalan. Dengan massive nya penggunaan teknologi dan akses informasi melalui media digital di masyarakat, hal ini akan mempermudah proses edukasi kepada masyarakat terkait bahaya money politic.
Dalam proses penyelenggaraan pemilu negara sudah menyiapkan perangkat untuk melaksanakan pesta demokrasi ini secara Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (Luber Jurdil) yaitu, Komisi Pemilhan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP) yang tugas dan fungsinya diatur dalam UU No 7 Tahun 2017, serta aturan turannnya yang setiap Lembaga membuat aturan turunannya. Sudah 5 kali kita melakukan pemilu pasca reformasi, yang menjadi salah satu isunya setiap pemilu adalah adanya kesalahan atau kekeliruan yang dilakukan perangkat penyelenggara pemilu, bahkan oknum penyelenggara melakukan tindak kecurangan yang dilakukan atas pesanan kandidat. Dan disini peran partisipasi masyarakat dibutuhkan, yang ruangnya sudah diberikan, tinggal sejauh mana kemauan dan kepedulian masyarakat untuk memantau setiap tahapan pemilu agar berjalan secara Luber Jurdil dan mengimplementasikan demokrasi substantive.
Dengan Jumlah TPS (Tempat Pemungutan Suara) lebih dari 800 ribu, lebih dari 100 Jumlah Calon Anggota Legislatif setiap dapilnya, banyaknya aktivitas kampanye disetiap daerah, tentunya dibutuhkan peran masyarakat untuk ikut memantau proses jalannya pemilu, dengan kemajuan teknologi dan percepatan pertukaran informasi sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk mempermudah aktivitas konsolidasi masyarakat dalam melakukan aktivitas pemantauan pemilu dan seluruh tahapannya. Seandainya ada group Pemantau Pemilu di tingkat RW, Pemantau Pemilu Ibu-Ibu Pengajian tolak politik uang, atau banyak lagi Gerakan Civil Society, yang dibutuhkan adalah kepedulian atas perubahan kualitas pemilu yang demokratis dan berinetgritas untuk menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas dan berintegritas.
Penulis: Khoirul Anam Gumilar Winata (KIPP Jawa Barat)